🎿 Kata Bijak Ki Ageng Suryomentaram
olehKi Ageng sebagai "rasa bahagia" atau Bejo. Rasa bahagia itu sebagai se- Rasa bahagia itu sebagai se- suatu kondisi yang bebas tidak tergantung pada tempat, waktu, dan keadaan. 9 Ki Ageng Suryomentaram 20 Mei 1892 – 18 Maret 1962 adalah putra ke-55 dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI.[1] Ki Ageng Suryomentaram memiliki nama bangsawan Bendoro Raden Mas BRM Kudiarmadji dan setelah umur 18 tahun diberi nama kebangsawanan Bendoro Pangeran Haryo BPH Suryomentaram.[1] Ki Ageng Suryomentaram menjadi guru dari suatu aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Begja yang memiliki arti ilmu bahagia.[2] Salah satu ajaran moral dari Ilmu Begja yang sangat populer pada masa itu adalah Aja Dumeh yang artinya jangan menyombongkan diri, jangan membusungkan dada, jangan mengecilkan orang lain karena diri sendiri lebih berpangkat tinggi, berkuasa atau kaya raya, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama.[2] DialahKi Ageng Suryomentaram, yang ajarannya oleh kalangan akademisi di Yogyakarta diharapkan menjadi cikal bakal lahirnya teori psikologi lokal. Tapi siapakah Ki Ageng Suryomentaram ini? Lahir pada 20 Mei 1892, ia adalah putra ke-55 dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI. Setiap meluangkan waktu nongkrong di kedai kopi, saya selalu mendengar pembicaraan seru tentang filsafat. Dan lumrah jika saya selalu mendengar nama Nietzsche, Descartes, Socrates, dan Plato dalam pembicaraan tadi. Para filsuf tersebut memang terdengar seksi ketika dibicarakan. Terkesan ndakik-ndakik dan ubermensch. Namun, membicarakan nama tersebut terasa kurang jika tidak dibandingkan salah satu filsuf lokal bernama Ki Ageng nama blio, mungkin yang terbayangkan adalah seorang sakti dengan tampilan pertapa yang sederhana. Masalah tampilan memang benar, blio memiliki outfit khas berupa kaus polos berkalung sarung. Namun Ki Ageng Suryomentaram bukanlah ahli klenik. Bahkan ilmu yang dikemukakan blio jauh dari kata Ageng Suryomentaram Sebelumnya BPH Suryomentaram, 1892-1962 adalah anak ke-55 dari 79 putra putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII, raja Jogja. Sebagai seorang pangeran, blio tidak mendapat kepuasan. Suryomentaram habiskan masa mudanya dengan mempelajari sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Namun, blio tetap tidak mendapat kepuasan. Bahkan blio harus menghadapi kejadian pahit berulang kali. Puncaknya adalah permohonan blio untuk mundur dari posisi pangeran serta naik haji. Kedua permohonan itu tidak dikabulkan. Akhirnya Suryomentaram memilih kabur ke Cilacap menjadi pedagang batik. Namun kaburnya blio membuat Sultan tidak berkenan. Sultan memerintahkan pencarian dan menjemput Suryomentaram untuk pulang ke Kraton. Perburuan membuahkan hasil, blio ditemukan di daerah Kroya saat sedang menggali sumur. Terpaksalah Suryomentaram pulang ke kepulangannya tidak memberi kepuasan. Bahkan blio melelang seluruh harta bendanya karena berpikir harta adalah sumber kekecewaan. Blio habiskan waktu dengan keluyuran ke tempat sakral untuk tirakat. Konon, saat Sultan HB VII wafat, blio melayat dengan penampilan seperti gelandangan. Pada fase ini, Suryomentaram dipandang sebagai pangeran edan atau Sultan HB VII, Suryomentaram tetap mengajukan permohonan berhenti sebagai pangeran. Akhirnya Kraton mengabulkan dan menggaji £ 75 per bulan sebagai bentuk penghargaan anggota keluarga. Blio membeli tanah di Bringin, Salatiga dan menjadi petani. Sejak itu, blio dikenal dengan nama Ki Ageng Suryomentaram. Kebebasan ini digunakan blio untuk mengkaji alam kejiwaan serta falsafah hidup. Selama 40 tahun blio mengkaji dengan menggunakan diri sendiri sebagai media kisah Ki Ageng Suryomentaram, kita dapat melihat pergolakan seorang manusia untuk mencapai kepuasan dan kebahagiaan. Blio berjuang membebaskan diri dari segala kekecewaan dan depresi. Kristalisasi pemikiran Suryomentaram dikenal sebagai Kawruh Jiwo atau Ilmu Jiwa. Beberapa sumber menyebut sebagai Kawruh Begja atau ilmu kebahagiaan/keberuntungan. Anda dapat mendalami ilmu ini banyak buku atau tesis sampai disertasi. Namun saya utarakan sedikit ringkasan hasil belajar perkara ajaran blio yang terkesan mudah namun aslinya njelimet ini. Terutama pada bagian yang membantu kita lepas dari ini bukanlah ilmu klenik. Kawruh Begja tidak menuntut sesaji atau kemenyan. Kawruh Begja menganalisis fenomena jiwa dan inti pribadi manusia. Suryomentaram mengamati bagaimana seorang manusia bisa bahagia, sedih, lalu bahagia lagi. Kajian blio bermuara pada kenyataan bahwa bahagia bukan datang dari “benda”. Namun seluruh rasa berasal dari diri sendiri. Berasal dari pikiran pribadi.“Di kolong langit ini anakku, tak ada sesuatupun yang pantas diratapi atau ditakuti.” Pemikiran Suryomentaram tersebut yang membebaskan blio dari kekecewaan berpuluh-puluh tahun. Blio menemukan kenyataan bahwa bahagia dan sedih datang silih berganti. Tidak ada manusia yang bahagia atau sedih seumur hidup. “Beribu-ribu keinginan manusia telah gagal digapai, namun manusia tidak lantas sengsara seumur hidup.” Demikian pula sebaliknya. Tapi, manusia bisa membebaskan diri dari kesedihan dengan merasa begja atau beruntung tersebut dapat memisahkan manusia dari diri’. Diri yang dimaksud adalah segala catatan’ identitas, dari jabatan hingga harta. Keberhasilan lepas dari diri’ ini membawa manusia pada kondisi manusia tanpa ciri. Manusia tanpa ciri inilah yang tenteram, santuy, dan bahagia. Dia tidak lagi terjebak catatan-catatan yang membuat diri kalap dan pikir begja ini dapat membebaskan manusia dari depresi. Perasaan celaka dan sedih yang mendalam tidak lebih dari olah pikir personal. Dengan merasa beruntung serta membebaskan diri dari catatan’, manusia tidak perlu menyibukkan diri pada sumber kesedihan. Misalnya Anda sakit hati karena putus cinta, Anda harus bersyukur hanya putus cinta. Setidaknya cinta yang putus lebih baik daripada kepala yang putus. Inilah contoh ekstrim pemaknaan kawruh Anda lebih mendalami Kawruh Begja, Anda akan menemukan banyak kemiripan pemikiran Suryomentaram dengan konsep psikoterapi. Namun, Kawruh Begja tidak mengajak manusia untuk meredam dan beradaptasi dengan catatan’ yang menjadi sumber trauma. Suryomentaram mengajak kita untuk mematikan segala catatan dan rekaman buruk ini untuk mencapai yang saya katakan mudah namun njelimet. Membebaskan diri dari segala catatan dan rekaman hidup terasa mustahil. Namun, mencapai manusia tanpa ciri memang memerlukan olah pribadi yang tidak instan. Meresapi setiap peristiwa dalam hidup, lalu mengkajinya dengan inti pribadi. Pada akhirnya, kita akan menemukan kenyataan bahwa “susah seneng iku digawe dhewe.” Atau susah senang itu dibuat banyak kisah hidup Ki Ageng Suryomentaram yang belum terbahas. Dari gerilya melawan penjajah, sampai berbagi ilmu tata negara kepada Soekarno. Namun, opus magnum blio tetaplah Kawruh Begja. Sebuah ilmu filsafat lokal yang tetap relevan, bahkan dikaji cabang keilmuan lain dari psikologi sampai sastra. Warisan ini yang menyebabkan blio dijuluki Plato dari Jawa. Menggoreskan nama blio dalam sejarah bukan sebagai pangeran. Namun sebagai manusia JUGA Meningkatnya Pamor Nasi Goreng Tanpa Kecap di Tangan Selebtwit dan tulisan Dimas Prabu Yudianto Mojok merupakan platform User Generated Content UGC untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di diperbarui pada 28 Juli 2020 oleh Rizky Prasetya| Թ уфաш ፐդешεጪ | Асв φደр аգիդ |
|---|---|
| Легωж соմовጨժεψի | Бօ σիη բуфևлե |
| ዤкошըքοрсω ծጫኘ | Абруклըժ еማፈшጵδո |
| Աφ τιፄуբዷхи звሀሽыжθ | ጫвሠсрጹξа ηицуτаρа |
| Ωփէвиηጵσ юр | Нтըτясниξո иса ω |
| Мαфиռ ቱղыτ | Ք իдокраቡθск |
PsikologiSuryomentaram. Penulis : Afthonul Afif. Penerbit: IRCiSoD. Cetakan : 2020. Halaman : 238 hlm. Ukuran : 14 x 20 cm. "Kehidupan bahagia sejati adalah kebahagiaan yang tidak lagi terikat oleh tempat, waktu dan keadaaan (mboten gumantung papan, wekdal lan kawontenan).". Ki Ageng Suryomentaram. Buku ini dibuka dengan pengantar oleh Irfan Afifi.em> Postmodern society has related to the terms of relativism, it is kind of the rejection of certain universal forms grand narrative. In this case, the uncertainty of ethic is being one of the problems of humanity that exist in postmodern society. It implies that there is no true moral principle. The accuracy of all moral principles are relatively accommodated to the concerned or selected individual environment. The difficulty is how to marry such values to respect for diversity. Some agreements on the principles of social justice are desirable. Human has to position themselves between absolutism’ and anything goes’. Ki Ageng Suryomentaram, one of the Javanese Philosophers, formulated a set of philosophical views called to deal with human life. It is not an absolute concept to follow. Neither is it a form of totalitarianism reconstruction. Yet, it can be included as one of what so called by Lyotard as a small narrative. So in postmodernism view, the concept of Ki Ageng Suryomentaram, be it about harmony or manungsa tanpa tenger human without signs, mawas diri self-cautiousness, and mulur mungkret state of being developed and shrunk can be regarded as knowledge that qualifies to be publicized. It fits to some degree into a postmodern society for creating a harmonious life. Kitatelah melihat bagaimana suatu hari KAS berhasil menemukan diri sejatinya, sebuah penyingkapan diri yang kemudian membuatnya berujar: "Suryomentaram dudu aku" (Suryomentaram bukan saya). Untuk menjelaskan proses "menemukan diri yang baru" itu, dia mengingat sebuah kejadian yang telah mengubah hidupnya: suatu hari dalam perjalanan menuju Parangtritis dia terhadang oleh banjir di Kali Opak. Ki Ageng Suryomentaram – Di kalangan masyarakat Jawa, Ki Ageng Suryomentaram adalah seorang filsuf dan tokoh spiritual yang sangat terkenal. Ia adalah seorang pemikir kritis yang berangkat dari kearifan Jawa. Ki Ageng dijuluki Sang Plato dari Jawa karena gagasannya jelas dan logis. Hal tersebut membuat dirinya berbeda dari pemikir Jawa lainnya yang lebih condong ke arah mistisisme. Posisinya sangat penting bagi pencerahan masyarakat Jawa dalam membentuk pribadi yang cerdas dan cendekia tanpa harus kehilangan jati diri ketimurannya. Riwayat Ki Ageng Suryomentaram Ki Ageng Suryomentaram lahir pada hari Jumat Kliwon, 20 Mei 1892, dengan nama kecil Bendara Raden Mas Kudiarmaji. Ia adalah anak ke-55 dari 79 putra-putri Sri Sultan Hamengku Buwana VII, raja dari Kasultanan Yogyakarta. Ibunya adalah seorang garwa ampean bernama Bendara Raden Ayu Retnomandaya, putri Patih Danureja VI atau Pangeran Cakraningrat. Sedari kecil sudah tampak kecerdasan BRM Kudiarmaji. Seperti putra-putri Sultan lainnya, ia menempuh pendidikan setingkat pendidikan dasar di Sekolah Srimanganti di dalam lingkungan keraton. Atas saran ibunya, ia kemudian mengambil kursus bahasa Belanda, Arab, dan Inggris. Ia juga mengikuti persiapan dan ujian sebagai Klein Ambtenaar, dan kemudian magang bekerja di gurbernuran selama 2 tahun. BRM Kudiarmaji gemar belajar dan membaca buku-buku sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Ia mendapat bimbingan dari Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dalam bidang agama Islam. Di usia 18 tahun, BRM Kudiarmaji diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram. Kedudukannya sebagai pangeran membuat ia mendapat banyak fasilitas, seperti tempat tinggal, gaji bulanan, kendaraan, pengawalan, dan tanah. Namun, segala kesenangan dan fasilitas yang ia terima belum membahagiakan dirinya. Pangeran Suryomentaram merasakan kegelisahan dalam hidupnya. Ia merasakan lingkungan keraton dan kedudukannya sebagai pangeran membuat relasinya dengan manusia lain bersifat semu. Orang-orang baik kepadanya karena kedudukannya sebagai seorang pangeran, bukan karena pribadinya. Akhirnya, ia sendiri merasa tidak mengenal jati dirinya sendiri. Pangeran Suryomentaram merasa lingkungan keraton dengan segala aturan dan tradisinya telah mengungkungnya. Ia berpikir bahwa kungkungan inilah yang menjadi penyebab atas kegelisahannya. Maka, jika ia ingin mengenal atau bertemu dengan dirinya sendiri, ia harus membebaskan diri dari kungkungan tersebut. Pangeran yang satu ini pribadinya memang berbeda dari para bangsawan lainnya. Di kala bangsawan lain menikmati kedudukan dengan segala harta dan kuasanya, Pangeran Suryomentaram justru merasa tidak nyaman. Makin lama Pangeran Suryomentaram semakin tidak betah tinggal di istana. Terlebih lagi setelah ia mengalami beberapa kejadian yang tidak mengenakan hatinya. Diam-diam, ia meninggalkan keraton dan pergi ke luar daerah. Ia kemudian menjadi pedagang batik dan stagen ikat pinggang, lalu mengganti namanya menjadi Natadangsa. Saat Pangeran Suryomentaram mulai menikmati hidupnya sebagai orang biasa, ia dipanggil kembali ke istana. Ayahnya mengirim utusan untuk menjemputnya. Mereka mendapati Sang Pangeran sedang menggali sumur di daerah Kroya dan mengajaknya pulang. Dengan berat hati, perintah ayahnya tersebut ia turuti. Namun, kehidupan keraton membuat kegelisahannya kembali muncul. Berbagai upaya ia lakukan untuk mengatasi kegelisahannya. Ia membagikan harta kekayaannya karena ia merasa segala miliknya yang ia dapat bukan karena usahanya, tapi karena ia dilahirkan sebagai putra sultan, menjadi perintang bagi kebahagiaannya. Ia bertirakat ke tempat-tempat yang dikeramatkan, dan berguru ke mana-mana. Namun, semua usaha yang ia lakukan tidak menghilangkan kegelisahannya. Penampilan keseharian Ki Ageng Suryomentaram celana pendek dan menyelempangkan kain bermotif parang rusak barong. Pada masa itu, motif ini hanya dikenakan oleh para raja. Ki Ageng mengenakannya sebagai simbol perlawanan. Pada 1921, saat usia Pangeran Suryomentaram menginjak 29 tahun, ayahandanya meninggal. Setelah kakaknya dinobatkan sebagai raja dengan gelar Sultan Hamengkubuwana VIII, Pangeran Suryomentaram mengajukan permohonan berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran. Permohonan ini dikabulkan. Ia kemudian hidup sebagai seorang petani di Desa Bringin, sebuah desa kecil di sebelah utara Salatiga, di lereng Gunung Merbabu. Sejak itu, ia dikenal sebagai Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Bringin. Waktu Perang Dunia I selesai, Ki Gede Suryomentaram bersama teman-temannya mengadakan sarasehan setiap malam Selasa Kliwon. Sarasehan tersebut dihadiri oleh 9 orang termasuk Ki Gede sendiri. Di antara yang hadir adalah Ki Hajar Dewantara. Sarasehan ini banyak membicarakan masalah yang terjadi di Hindia Belanda saat itu. Keputusan dari sarasehan ini di antaranya adalah perlunya pendidikan bagi rakyat. Maka diputuskan untuk mendirikan sekolah-sekolah rakyat. Sekolah-sekolah tersebut selanjutnya disebut sebagai Taman Siswa dan dipimpin oleh Ki Hadjar Dewantara. Karena Taman Siswa belum memiliki gedung maka Ki Ageng meminjamkan rumahnya di Yogyakarta untuk digunakan sebagai ruang kelas dan asrama. Di lain pihak, Ki Gede Suryomentaram mendapat tanggung jawab untuk mendidik orang tua. Dalam salah satu pertemuan, atas usulan Ki Hadjar Dewantara, Ki Gede Suryomentaram mendapat nama baru, yaitu Ki Ageng Suryomentaram. Di Balik Pembentukan PETA Ki Ageng Suryomentaram dikenal aktif menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Ia juga menentang Indonesia dijadikan ajang peperangan antara Belanda dan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, Ki Ageng berusaha keras untuk membentuk tentara. Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa Ki Ageng Suryomentaram berperan penting dalam pembentukan Tentara Pembela Tanah Air PETA. Kisahnya dimulai saat Ki Ageng Suryomentaram dan teman-temannya berembug tentang bagaimana caranya agar bangsa Indonesia tidak dijajah lagi. Hasil diskusi menyimpulkan bahwa agar tidak dijajah lagi maka bangsa ini harus memiliki tentara yang terlatih. Masa pendudukan Jepang dinilai waktu yang baik untuk membentuk tentara karena saat itu, pihak Jepang sendiri sedang mengkonsolodasi kekuatannya. Lagipula, bangsa Jepang adalah bangsa Asia yang kemampuan perangnya sama dengan bangsa Eropa sehingga mereka bisa diminta untuk melatih tentara sukarela yang akan dibentuk. Gagasan ini awalnya awalnya ditolak oleh Gurbernur Yogyakarta yang pada waktu itu dijabat oleh Kolonel Yamauchi. Namun, seorang anggota dinas rahasia Jepang yang bernama Asano menyanggupi akan mengajukan permohonan tersebut langsung ke Tokyo. Permohonan yang ditandatangai oleh 9 orang tersebut dikabulkan oleh pemerintah Jepang di Tokyo. Maka terbentuklah Tentara Sukarela yang namanya kemudian diubah menjadi Tentara Pembela Tanah Air PETA. Nantinya, tentara ini menjadi modal yang sangat penting yang dimiliki Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya pasca-proklamasi kemerdekaan. Ki Ageng Suryomentaram juga menyusun tulisan mengenai dasar-dasar ketentaraan sebagai bekal atau pedoman bagi tentara-tentara Pembela tanah Air agar “berani mati” atau berani berperang membela tanah airnya. Tulisan tersebut ia sebut sebagai Jimat Perang. Tulisan ini ia ceramahkan ke mana-mana, dan kemudian dipopulerkan oleh Bung Karno dalam pidato-pidatonya di radio. Kawruh Beja atau Kawruh Jiwa Setelah Indonesia mendapatkan kedaulatan penuh, Ki Ageng Suryomentaram aktif memberikan ceramah. Ki Ageng sebenarnya sudah mulai memberikan ceramah sejak lama. Namun, kegiatan tersebut sempat terhenti karena berkecamuknya perang Pasifik yang meluas sampai ke Nusantara. Kawruh Beja pengetahuan tentang kebahagiaan yang kemudian lebih dikenal sebagai Kawruh Jiwa adalah inti pemikirannya. Ki Ageng Suryomentaram tidak memaksudkan kebahagiaan sebagai keberlimpahan materi atau tingginya kedudukan seperti yang menjadi pandangan umum manusia Indonesia saat ini. Ki Ageng Suryomentaram memaksudkan kebahagiaan sebagai penemuan dan pemahaman yang mendalam akan diri sendiri. Kebahagian ini adalah kebahagiaan yang bebas, kebahagiaan yang tidak terikat tempat, waktu, dan keadaan. Kegiatan memberikan ceramah tersebut berlangsung sampai suatu kali ketika sedang mengadakan ceramah di desa Sajen, Ki Ageng Suryomentaram jatuh sakit. Ia lalu dirawat di rumah sakit untuk beberapa waktu dan kemudian dibawa pulang karena penyakitnya tidak kunjung membaik. Ki Ageng Suryomentaram meninggal pada Minggu Pon tanggal 18 Maret 1962. Banyak hasil pemikiran Ki Ageng Suryomentaram yang telah dibukukan, baik dalam bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia. Sebuah komunitas dengan nama Pelajar Kawruh Jiwa secara rutin mengadakan pertemuan untuk menghayati dan mempelajari wejangan-wejangan beliau. Warisan pemikiran yang ditinggalkannya sangat berharga khususnya bagi jiwa-jiwa yang mengupayakan kebebasan dan kebahagiaan. .